Kamis, 28 Februari 2013

Humor - Membaca Bismillah Di Awal dan Di Akhir

Dari Ibnu Shabh, Dari al-Mutsanni bin Abdurrahman al-Khuza’I, dari pamannya yang bernama Umayyah bin Mukhsyi. Dia adalah yang selalu menyertai Nabi Muhammad saw., lalu dia berkata, “Suatu ketika Nabi sedang duduk ada seorang sahabat beliau makan, dan tidak membaca bismillah. Maka setan pun makan bersama dengannya. Ketika makanannya itu tinggal satu suap, orang itu berdoa’a
“Bismillahhi fii auwalihi wafiii akhirihi”
(“Dengan menyebut nama Allah di awal-dan di akhir”)
Kemudian beliau terawa seraya bersabda, “Pada saat ini setan terus-menerus ikut akan dengan orang itu, namun ketika dia menyebut nama Allah, maka dia memuntahkan semua makanan yang masuk ke dalam perutnya.” (al-AHadist al-Arba’ah juz: 4, hlm. 343

Disadur dari buku:
Ahmad, Abu Islam, 2018, 11 dari Kisah Tawa & Senyum Nabi Muhammad saw., Al-Kalam, Jakarta.

Selasa, 26 Februari 2013

Abu Nawas - Merayu Tuhan

Abu nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mmengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.

Diantara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menananyakann mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyan yang sama. Orang pertama muai bertanya,

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” Jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang pertama.

“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” Kata Abu Nawas.

Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjaka dosa-dosa Keci?”

“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” Jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang kedua.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari tuahn.” Kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaa yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” Jawab Abu Nawas.

“Mengapa?” kata orang ketiga.

“Sebab pengampunan Allah kedapa hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” Jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alas an Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.

“Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”

“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingaktan hati.”

“Apakah tingkatan mata itu?” Tanya murid Abu Nawas. “Anak kecil yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” Jawab Abu Nawas mengandaikan.

“Apakah tingkatan otak itu?” Tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu besar karena ia berpengatahuan.” Jawab Abu Nawas.

“Lalu apakah tingkatan hati itu? Tanya murid Abu Nawas. “Orang bijaksana yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintan itu kecil walupun ia tahu bintang itu besaar. Karena bagi orang yang mengerti, tidak ada sesuatu apaun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah.

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. Ia bertanya lagi.

“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”

“Mungkin.” Jawab Abu Nawas.

“Bagaimana caranya?” Tanya murid Abu Nawas ingin tahu.

“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” Kata Abu Nawas.

“Ajarkan doa itu padaku wahai guru.” Pinta murid Abu Nawas.

“Doa itu adalah: Ilahi latsu lil Firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi.

Sedangkan arti do’a itu adalah: “Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetaapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatkku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Disadur dari buku: 
Rahimsyah, MB, Mati Ketawa Bersama Abu Nawas, Sandro Jaya, Jakarta.  

Sabtu, 23 Februari 2013

Hikmah Dari Musibah



“Tidak ada satu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan sudah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)


Jika memang musibah itu datangnya dari Allah, lalu untuk apa sebenarnya Allah memberikan hal-hal yang buruk itu kepada manusia? Bukankah hal ini malah akan menyebabkan manusia itu rusak dan hancur? Kenapa Allah tega melakukan ini kepada kita?

Terkadang kata-kata seperti itu sering terucap di dalam hati kecil  dan benak kita, terlebih lagi ketika kita sedang disudutkan oleh masalah yang terkesan tiada berujung. Hati dan otak kita sukar berfikir dengan benar sehingga cenderung untuk berpikir buruk dan berprasangka yang tidak baik kepada allah.

Sesungguhnya dibalik semua musibah dan kesedihan yang diberikan Allah kepada manusia, tersimpan suatu hikmah dan rahmat yang besar yang kadang tidak disadari oleh manusia itu sendiri. Beberapa diantara hikmah yang diberikan oleh Allah di balik musibah adalah:

1. Musibah sebagai Ujian Iman


“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkatan (dalam kehidupan).” (QS. Al-Insyiqaaq: 19)


Hidup ini diciptakan dalam jenjang-jenjang tingkatan yang berbeda-beda, begitu pula manusia yang menempatinya. Setiap manusia memeiliki jenjang tingkat diri yang berbeda-beda.

Jika kita sekolah, untuk naik kelas atau tingkat yang lebih tinggi sebelumnya harus mengikuti ujian terlebih dahulu, bukan? Begitu juga dalam hidup ini. Dalam beberapa titik-titik tertentu dalam kehidupan kita, Allah akan memberikan beberapa ujian yang kesemuanya itu sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan “kelas” kita.

Tentunya kita tidak ingin berada pada “kelas rendahan” saja, bukan? Kita juga pastinya tidak ingin “tidak naik kelas” di dalam hidup.

Untuk itulah Allah memberikan beberapa ujian yang kesemuannya sebenarnya berguna untuk setiap orang untuk meningkatkan “kelas” atau derajatnya di dunia ini. Karena semakin tinggi kelas atau derajat seseorang dimata Allah, maka akan semakin besar balasan nikmat yang akan diberikan oleh Allah kepadanya.

Di dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa liku-likku hidup ini sebenarnya hanyalah ujian atau cobaan semata. Kadang ada pula ayat yang diulang-ulang pada beberapa tempat, karena semua ini begitu penting dan dimaksudkan agar manusia mengerti hakikat sebenarnya dari ujian tersebut.


“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk: 2)

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian, dan seusungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 28)

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari oran-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertawa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali-Imran: 186)


Ujian yang diberikan oleh Allah bukan hanya dalam bentuk kekurangan saja, tetapi juga dalam bentuk kelebihan (seperti kekayaan, kepandaian, kecantikan, dan sebagainya). Justru ujian semacam inilah yang paling berat karena biasanya manusia tidak sadar bahwa dirinya sedang diuji oleh semua kelebihan yang dimilikinya.


“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamuu dikembalikan” (QS. Al-Anbiyaa: 35)

“Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada) kebenaran” (QS. Al-‘Araaf: 168)


Jika seseorang diberi kemiskinan dan kekurangan, ia diuji dengan kemiskinan atau kekurangannya itu. Apakah ia bisa bersabar dan tabah menerima segala kesulitan hidup yang dialaminya. Sedangkan jika seseorang diberi kekayaan dan kelebihan, sebenarnya ia juga sedang diuji dengan itu. Apakah dengan segala kelebihannya itu (kekayaan, kecantikan, kepintaran, dan sebagainya), ia bisa memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik dan tidak melupakan Allah sebagai zat Maha Kuasa lah yang telah memberi semuanya itu untuknya.

Banyak sekali manusia yang sombong, yang merasa bahwa semua kelbihan yang iamiliki itu adalah dari dirinya sendiri, padahal semuanya itu adalah pemberikan sekaligus ujian dari Allah. Dan Allah berfirman:


“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru pada Kami,  kemudan apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari kami ia berkat, ‘Sesungguhnya aku diberik nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 49)


Jadi jalanilah segala musibah dengan sebaik mungkin. Anggaplah itu sebagai ujian untuk meningkatkan iman, kelas, atau derajat kita di mata Allah. Jika mampu melwati musibah dengan baik, tidak melupakan Allah, tidak menggerutu, mampu terus menjalani hidup dengan baik, itu tandanya Anda sudah lulus dari ujian besar dari Allah dan derajat Anda sudah dinaikkan.

2. Musibah Sebagai Alat Pematangan Diri

Pada perjalanan kehidupan ini, Anda akan melwati tik-tidk penting yang akan menempa mental Anda agar leibh matang dari sebelumnya. Tempaan mental ini bisa bermacam-macam bentuknya, tergantung kepada pribadi masing-masing orang.

Setiap manusia tidak selamanya hidup sebagai bayi yang selalu mendaptkan semua hal yang diinginkannya. Pada saatnya nanti dia harus disapih, dia harus terbang dari sarangnya, dia harus mengetahi kerasnya hidup ini, dia harus mengetahi yang baik dan yang benar, serta mampu bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya. Itulah yang namanya kedewasaan, itulah yang namanya kematangan diri.

Kedewasaan selain dibentuk oleh pribadi masing-masing, juga dibentukoleh pengaruh luarr. Semua yang dia lihat, semua yang dia alami, semua yang dia rasakan, secara langsung atau tidak langsung akan memengaruhi dirinya dan membentuk kedewasaanya. Salah satu faktor luar yang paling berpengaruh dalam mematangkan diri manusia adalah pengalaman merasakan musibah dan kesedihan.

Jika manusia ditimpa suatu musibah yang begitu beratnya, sedikit banyak dia akan mengubah dirinya. Seorang yang diberikan tantangan berat terpaksa harus mampu menyesuaikan dirinya untuk mengatasi tantangan tersebut. Dia harus bisa melakukan apa saja yang menurutnya terbaik untuk lepas dari kesedihan dan musibah apasaja yang menurutnya terbaik untuk lepas dari kesedihan dan musibah tersebut. Dia harus belajar menerima keadaan, belajar mengalah, sabar, belajar mengatasi masalah dan menjadi dewasa.

Jika kita mampu melwati suatu musibah dengan baik, berarti kematangan dirinya akan bertambah. Tetapi jika dia hanya menangis, bersedih, menggerutu, itu berarti dia belum bisa menjadi dewasa akan akeadadan yang terjadi di sekitarnya.

3. Musibah Sebagai Peringatan

Banyak yang menyangka bahwa musibah itu adalah azab dari Allah, bahwa musibah itu adalah tanda murkanya Allah kepada kita yang sudah banyak berdosa kepada-Nya. Akan tetapi cobalah kita pikir ulang, ketika manusia masih diberi hidup setiap harinya, artinya diammasih diberi kesempatan dan kasih sayang Allah. Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak pernah member siksa, tetapi itu hanyalah sebuah peringatan bagi hamba-Nya yang mungkin sudah mulai melenceng dari jalan yang benar.


“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisaa’: 40)


Jika kita diberi peringatan, itu tandanya Allah mmasih peduli kepada kita. Itu tandanya Allah masih ingin agar kita berubah menjadi lebih baik, agar kita kembali ke jalan-Nya yang lurus.

Manusia kadang tidak menyadari bahwa dirinya setiap hari diuji dan diperingatkan oleh Allah. Sebenarnya setiap kejadian yang menimpa diri kita bukanlah kebetulan atau sia-sia belaka. Bagi orang yang benar-benar beriman, semua kebaikan dan keburukanada hikmahnya. Semua musibah yang menerima dirinya dianggap sebagaiperingatan dari Allah karena mungkin dia sudah agak “keluar jalur” dari yang ditetapkan oleh Allah.

Sekali lagi, selama kita masih hidup, itu tandanya Allah masih memberikan kesempatan untuk berbuat baik. Jadi, kembalilah kepada Allah! Berbuat baiklah sebelum terlambat.


4. Musibah Sebagai Pengobat Penyakit Hati

Jika manusia tidak pernah ditimpa kesulitan sedikit pun di dunia, ia tentu akan menjadi sombong dan takabur. Allah sengaja memberikan musibah kepada manusia sebagai penawar dari penyakit-penyakit hati yang bisa membawa manusia kedalamkehancuran yang lebih jauh, baik di dunia maupun untuk akhirat.

Banyak sekali kita lihat manusia yang bersifat ujub (merasa hebat) atau sombong karena merasa telah mendapatkan seluruh apa yang diinginkannya dalam dunia. Di merasa sudah hebat karena kedudukannya yang tinggi, karena kaya, karena tampan, karena sehat, punya istri cantik, dan sebagainya. Jika seorang tidak pernah ditimpa kejatuhan selam hidupnya, dia bisa-bisa malah menjadi sombong, angkuh, takabur, dan melupakan Allah.


“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)


Untuk itulah Allah sengaja sedikit memutar roda kehidupannya. Mungkin seseorang yang telah berada di atas akan diputar hingga berada di bawah. Semua ini bukan dimaksudkan untukmenjatuhkan manusia itu, tetapi untuk mengobati hatinya yang mulai sombong agar menyadari bahwa semua yang dimilikinya itu milik Allah, bahwa semua keduniawiannya itu hanya bersifat sementara.

Disini terlihat bahwa Allah bersifat sangat pengasih dan penyayang kepada hamba-hamba yang dikasihi-Nya. Dengan diberi musibah, sebenarnya Allah ingin memperbaiki diri kita, ingin melindungi hati kita agartidak tercermari oleh penyakit-penyakit yang dapat mengikis iman maupun pahala kita.

Jadi janganlah bersifat sombong! Itu sia-sia saja di hadapan Allah. Dengan musibah menandakan bahwa manusia itu sebenarnya lemah, tidak punya daya apa-apa. Bahwa sebenarnya dibalik semua ini adakekuatan lebih besar.

5. Musibah Untuk Menyeleksi Iman

Mungkin banyak manusia yang sering berkata seperi ini: “Lho, saya ‘kan sudah beriman? Tiap hari sudah rajin shalat dan berdoa. Kenapa sih Allah masih saja memberikan musibah dan cobaan kepadaku? Seharusnya hidup saya lancar-lancar saja dong! Orang rajin shalat seperti saya seharsunya tidak perlu mengalami musibah apa pun.”

Siapa bilang?

Siapa bilang orang yang beriman tidak akan diuji dan diberi musibah? Malah sebaliknya. Semakin tinggi tingkat iman tersebut, akan semakin besar ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya. Semua ini sebenarnya adalah untuk kebaikan orang itu sendiri serta untuk menguji sampai dimana sebenarnya tingkat keimannya. Jika imannya benar-benar tulen, maka musibah apa pun tidak akan menjatuhkan mentalnya tetapi malah akan menambah iman dan takwanya kepada Allah. Tetapi jika imannya hanya polesansaja, musibah sidikit saja akan membuatnya jatuh mental dan kembali kufur.


“Apakah manusia itu mengira bahwa merka dibiarkan (saja) ketika mengatakan: ‘Kami telah beriman,’ sedang merka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabuut: 2-3)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali-Imran: 142)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Kapankah datangannya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)


Oleh sebab itulah Allah menimpakan ujian kepada hamba-Nya. Semuanya untuk menyeleksi dan membuktikan, apakah iman kita hanya benar-benar sejati atau hanya di mulut saja. kita ingin di cap sebagai orang yang beriman tulen? Kita ingin mendapatkan  balasan surga di akhirat nanti? Semuanya itu tidak mudah. Kita harus menjalani segala kehidupan dunia yang berat ini. Jika kita lulus, semuanya itu baru boleh Anda miliki.

6. Musibah Sebagai Ladang Pahala

Sebagai contoh kecil, ketika kita sedang dalam permasalahan yang berat, maka tak jarang kitamengeluarkan air mata untuk mengungkapkannya hingga dengan keluarnya air mata kita tersebut maka terkadang hati menjadi terasa lapang dan ringan.

Itulah air mata, air mata yang sudah di desain untuk dapat berperan dalam melepaskan persolan untuk sejenak, sebenarnya air mata itu adalah permata dan musibah itu adalah pahala. Berkah Tersamar (blessing in disguise) ini adalah suatu rahmat yang besar sekali dari Allah bagi oang-orang yang mengetahuinya.



“Dan tidaklah penderitaan, kesedihan, duka, kesusahan, kepayahan, penyakit, bahkan durinya menusuknya sekalipun kecuali Allah Ingin menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari)


Jadi sebenarnya kita harus bersyukur jika diberi kemalangan. Itu tandanya Allah telah memilih kita untuk diberikan pahala yang sangat besar. 

Disadur dari buku:
A.K, Cet ke-7, 2011, Ya Allah Tolong Aku, Quanta, PT Elexmedia Komputindo, Jakarta 


Rabu, 20 Februari 2013

Rahasia Alam Ghaib



Dari Abdullah bin Hajib bin Amir, dari ayahnya, dari pamannya yang bernama Laqith bin Ghamir bahwa dirinya pernah menjadi utusan dari satu kaum yang ditugaskan untuk menghadap Nabi Muhammad saw. ditemani oleh Nuhaik bin ‘Ashim bin Malik bin al-Munfiq. Laqit berkata, “Kami pernah dating ke Madinah untuk melewatkan bulan rajab. Kemudian, kami shalat subuh bersama rasulullah saw.. Ketika itu beliau berdiri dihadapan orang banyak seraya berkhotbah, “Wahai manusia, sesungguhnya aku menyimpan rahasia sejak empat hari yang lalau. Sekarang saya ingin mendengar darimu, adakah di antara kalian yang diutus kaumnya?”

Kemudian meraka berkata, “Ajarkan kembali kepada kami pengetahuan yang pernah diajarkan Rasulullah saw…”

Karena kesibukannya, mereka lupa apa yang diajarkan kepadanya. Kemudian, Rasulullah bersabda, “Ingatlah sesungguhnya aku akan dimintai pertanggungjawaban, apakah saya telah menyampaikannya. Oleh karena itu, dengarkanlah, maka kamu akan hidup dengan tenang. Dengarkanlah, maka kamu akan hidup tenang. Duduklah kalian.”

Ketika beliau menyampaikannya, lalu saya ditemani sahabatkku berdiri dan bertanya, “Wahai rasulullah, sesungguhnya saya bertanya sesuatu kepadamu tentang kebutuhanku, dan janganlah tergesa-gesa menjawabnya!”

Beliau bersabda, “Tanyakanlah apa yang kamu inginkan!”

Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengethaui ilmu ghaib?”

Mendengar pertanyaan itu beliau tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Beliau mengetahu bahwa saya ingin melontarkan pertanyaan yang salah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan memberitahukan lima perkara ghaib. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, kecuali Allah SWT ambil mengisyaratkan dengan tangannya.”

Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan lima perkara itu?”

Beliau menjawab, “Pertama pengetahuan tentang ajal. Allah SWT mengetahu kapan kematian seseorang tiba, sementara kalian tidak ada yang mengetahuinya. Kedua, pengetahuan tentang hujan yang akan membahayakan kalian dan mendatangkan kesengsaraan. Ketiga pengetahuan apa yang akan terjadi besok, apakah kamu akan menimkati makanan, sementara kamu tidak mengetahuinya selanjutnya, keempat pengetahuan tentang hari kiamat Kemudian, Allah SWT tertawa karena Dia mengetahui ajal kalian telah dekat.”

Laqith berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak akan pernah menyesal jika Allah SWT tertawa, karena dengan tertawa-Nya pertanda baik. Saya menghitung tentang alam ghaib, keumudian rasulullah saw. menyebutkan pengetahuan tentang apa yang terjadi di dalam rahim.” (Al-Mustadrak ‘alas shahihain juz: 4, hlm: 605)

Disadur dari buku:

Ahmad, Abu Islam, 2018, 11 dari Kisah Tawa & Senyum Nabi Muhammad saw., Al-Kalam, Jakarta.

Search