Jumat, 29 Maret 2013

Buah Dari Kebaikan



Pada suatu hari umar sedang membicaraan masalah rakyat bersama para sahabat besar, orang-orang bijak, dan para cendikiawan. Mendadak, seorang pemuda tampan yang dibalut baju bersih menghadap. Pemuda itu ditarik dan diseret oleh dua pemuda lain yang juga mengenakan pakaian bersih. Umar bin khaththab melayangkan pandangan mpada kedua pemuda tadi dan juga pada pemuda yang merka seret.

Kedua pemuda tadi lalu mendekat dan berkata, “Amirul Muminin, kami adalah saudara kandung yang teguh dalam menegakkan kebenaran. Kami memiliki seorang ayah yang sudah tua. Ia pandai dalam menyelesaikan masalah, dihormati oleh kabilahnya, terhidar dari sifat tercela, dan terkenal dengan keutamaannya. Ia mendidik kami  ketika kecil, mengajari kami ketika dewasa, dan mencurahkan kasih sayang yang tak terhingga bagi kami. Pada suatu hari, ayah kami pergi ke kebun, merawat tumbuan dan memtik buah yang telah matang. Lalu pemuda ini membunuhnya. Ia telah menyimpang dari kebenaran. Oleh sebab itu,, kami menuntut agar ia dijatuhi hukuman qishash. Hukuman yang setimpal dengan perbuatannya tersebutsebagaimana telah ditetapkan Tuhan.”

“Kau telah mendengar tuntutan mereka. Katakan pembelaanmu!” kata umar sambil menatap peuda tertuduh di hadapannya.

Akan tetapi, pemuda tertuduh ini berjiwa besar dan tak memiliki rasa takut sedikit pun. Dengan tersenyum tenang, ia mengutarakan pembelaannya dengan kata-kata indah yang tertata rapi. “Amirul-Mukminin, demi Allah, tuduhan mereka benar, dan aku pun mengakuinya. Mereka menceritakan peristiwa yang terjadi, dan memberitahukan kejadian yang merka lihat sekarang, aku akan mengisahkan ceritaku. Setelah itu, apa pun keputusanmu akan keterima dengan lapang dada. Amirul-Mukminin, aku adalah keturunan Arab badui yang tumbuh di pedalaman.  Suatu hari, aku bersama keluargaku pergi mengunjungi kota ini. Ditengah perjalanan, kami melewati kebun yang indah dan subur. Aku mengendarai kuda jantan sendirian sementara yang lain mengendari kuda jantan sendirian sementara yang lain mengendari kuda betina. Kudaku itu sangat bagus ia bagaikan raja perkasa dengan mahkota di atas kepalanya yang berjalan di tengah-tengah istri dan selirnya salah satu di antara kuda yang kami tuknggangi mendekati kebun yang daun tanamannya menyeruak keluar pagar. Ia memetik daun tersebut dengan kedua bibirnya lalu memakannya. Aku lantas menariknya untuk menjauhi kebun itu. Tiba-tiba seorang lelaki tua berteraiak keras dan menghambur ke arah  pagar tangan kanannya yang memegang batu ia hantamkaan sekuat tenaga pada kuta tersebut. Ia bagaikan singa buas yang menerkam buruannya tanpa ampun. Kuda itu pun mati karenanya. Melihat kuda itu ambruk di sampingnya kemarahanku meledak. Kuraih batu itu dan kuhantamkan padanya. Orang tua itu pun mati setelah mengerang kesakitan ia menemui ajal dengan batu yang ia gunakan untuk menghabisi kuda tadi. Sejurus kemudian, aku buru-buru menyingkir dari tempat itu, namun belum jauh aku melangkah, kedua pemuda ini menangkapku dan menyeretku ke hadapanmu.”

“Kau telah mengakui perbuatanmu. Kau tak meungkin melepasakn diri. Kau pantas dihukum”, kata Umar.

“Aku patuhi keputusan Tuan. Aku rela dengan hukum yang ditetapkan Islam. Akan tetapi, aku memiliki saudara yang masih kecil. Sebelum meningal, ayak saudarakuk itu mewariskan harta dan emas dalam jumlah yang besar padanya. Ia titipkan harta padaku dan memasrahkan anak itu padaku. Setelah aku bersumpah menyanggupinya, orang itu berpesan ‘ini untuk saudaramu. Jagalah dengan segenap kemampuanmu. Aku lantas menyembunyikan harta itu dalam lubang yang kugali. Dengan demikan, tak seorangpun yang tahu selain diriku. Jia kau hukum aku sekarang, harta itu akan hilang, dan penyebabnya adalah dirimu. Kelak, anak kecil iitu akan menuntut haknya padamu di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, kumohon kau tangguhkan hukuman ini selama tiga hari, sehingga kau punya kesempatan untuk melimpahkan tanggung jawab anak itu pada seseorang. Dan aku punya penjamin dalam masalah ini.”

Setelah diam sesaat sambil menatap wajah seluruh yang hadir, umar berkata, “Siapa yang akan menjamminnya dan siap menggantikan posisinya?”

Pemuda tersebut menatap wajah seluruh yang hadir di ruangan itu satu per satu. Sejurus kemudaian ia menunjuk Abu Dzar. “Dialah yang akan menjaminku,” katanya tanpa memita persetujuan Abu Dzar terlebuh dahulu.

“Abu Dzar, kau bersedia menjaminnya?” Tanya umar.

“Ya, Aku akan menunggunya sampai tiga hari,” jawab Abu Dzar. Kedua pemuda itu pun setuju dengan usulan pemuda yang mereka tuduh, dan menjadikan Abu Dzar sebagai penjaminnya.

Di saat masa penagguhan tersebut akan selesai, kedua pemuda tadi dating kembali. Sementara itu, umar duduk di tengah-tengah sahabat utama. Abu Dzar juga terlihat di tengah-tengah mereka. “Abu Dzar, di mana orang yang kau jamin? Mengapa ia lari dari kematian? Kau tidak boleh pergi sebelum memenuhi jaminanmu itu,”

“Demi Allah, Zat Yang Mahatahu. Jika batas waktu yang ditentukan habis dan pemuda tadi belum dating, aku pasti memnuhi tangguanku dan kuserahkan jiwakku. Hanya kepada Allah lah aku memohon pertolongan,” timpal Abu Dzar mantap.

“Aku bersumpah, jika pemuda tadi terlambat, aku tetap akan melaksanakan hukuman terhadap Abu Dzar sesuai dengan tuntutan hukum Islam,” tegas Umar.

Simpati orang-orang yang hadir tercurah kepada Abu Dzar. Rasa sedih dan kecewa campur aduk seakan berlomba mengisi benak semua yang berkumpul di tempat itu. Ketika suasana semakin genting, salah seorang sahabat mengusulkan agar kedua pemuda tersebut mencabut tuntutan dan menggantinya dengan meminta gnati rugi. Usulan ini ditolak. Keduanya tetap bersikukuh menuntut balas atas kematian ayahnya. Ketika larut dalam kesedihan karena akan kehilangan Abu Dzar, tiba-tiba pemuda tersebut dating. Ia menghadap Umar bin Khaththab dan menyerahkan diri dengan sepenuh  hati. Setelah mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan tenagn ia melangkah mendekati Umar. “Aku telah melimpahkan tanggung jawab anak kecil itu pada saudara-saudaranya. Kuberitahu dan kuperlihatkan tampat penyimpanan harta itu pada mereka. Setalah itu aku bergegas kemari untuk memenuhi kewajibanku,” katanya.

Semua orang berdecak kagum akan kejujuran, ketetapannya dalam memenuhi janji, dan keberaniannya menghadap kematian. Ia kemudian berkata, “Orang yang berkhianat takkan diampuni Tuhan, sedangkan orang menepati janji pasti dikasihi dan diampuni. Akku yakin, jika kematian dating, tak seroang pun mampu menghindarinya. Laksanakan hukumanTuan, agar tidak timbul anggapan bahwa keadilan telah hilang.”

“Amirul-Mukminin, aku telah menanggung pemuda ini, padahal aku tidak tahu dari mana ia berasal. Aku juga belum pernah melihat dia sebelumnya. Ia memandang ke arahku dan berkata, ‘Dialah yang menjaminku.’ Saat itu, aku tak kuasa menolaknya. Rassa kemanusaanku tak mampu untuk menepis permohonanya itu. Semua itu kulakukan agar tidak timbul keutamaan telah sirna,” kata Abu Dzar.

“Amirul-Mukminin, kami cabut tuntutan kami atas pemuda ini, agar tidak timbul anggapan bahwa kebaikan telah musnah,” timpal kedua pemuda yang menuntut hukuman qishah tadi.

Umar bin Khaththab kemudan member kabar gembira dengan mengampuni pemuada tertuduh tadi. Dia memuji kejujuran, tanggung jawab, kebesaran hatinya. Amirul-Mukminin juga menyanjung tingginya  rasa kemanusaan Abu Dzar yang melebihi semua orang orang yang duduk disekelilingnya. Tidak lupa dia juga mengucapkan rasa salut atas keteguhan hati kedua pemuda tersebut dalam melakukan kebaikan.

Umar kemudan memerintahkan agar kedua pemuda tadi diberi uang tebusan atas kematian ayahnya. Namun mereka menlak dan berkata, “Kami member maaf demi mengharap rida Allah semata. Dan barang siap yang niatnya lurus seperti ini, kebaikan yang ia lakukan pasti takkan beruah kerugian.”


Disadur dari buku
Khalid, Abu, Humor Islami, 2005, Lintas Media, Jombang (Halaman 53) dengan judul asli Kejujuran Seorang Pemuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Search